Welcome
Cari Lagu Favorit Anda
Senin, 11 Januari 2010
Perempuan Penunggu, Laki-laki Pemburu
KOMPAS.com — Kebanyakan perempuan dinilai sebagai makhluk yang suka pilih-pilih dan memasang standar tinggi dalam mencari kekasih. Sebaliknya, laki-laki mudah dekat dengan sejumlah perempuan dan cepat pula mengucap kata cinta.
Reputasi perempuan yang terlalu picky, dan laki-laki pemburu, tampaknya sulit diubah. Menurut para ahli, sebenarnya mudah mengetahui alasan di balik sikap kedua lawan jenis ini dalam hal mencari pasangan.
Dalam hasil studi yang dipublikasikan jurnal Psychological Science disebutkan, sudah menjadi tipikal para laki-laki untuk mendekati perempuan lebih dulu. Dan proses pendekatan ini sudah bisa membuat perasaan mereka menggebu-gebu.
Sebuah studi kecil yang dilakukan para ahli dari Northwestern University mendukung hal itu. Diketahui bahwa sebenarnya proses perkenalan dan pendekatan pada lawan jenis justru meningkatkan rasa percaya diri dan ketertarikan pada calon pacar dibandingkan dengan orang yang cenderung lebih suka menunggu.
Sebaliknya dengan perempuan, secara alamiah mereka memiliki kesabaran untuk menunggu. Lihat saja bagaimana perempuan harus mengandung selama 9 bulan sebelum melahirkan bayi mungil. Di luar alasan-alasan tersebut, proses pemilihan pasangan yang tepat memang tak boleh sembarangan, apalagi jika tujuannya komitmen seumur hidup.
Perjodohan Bisa Membahagiakan
KOMPAS.com - Kalau Anda adalah bagian dari mereka yang dijodohkan, Anda tidak sendiri. Bukankah calon raja Inggris, Pangeran William pun isunya sempat dijodohkan untuk mendapatkan permaisuri yang tepat? Yang diperlukan hanya sedikit perubahan pola pikir. Kalau yang lain jatuh cinta dulu baru menikah, sebaliknya Anda menikah dulu baru membangun cinta bersama. Itu belum tentu sulit, sebab yang dibutuhkan hanya satu kata: niat. Mencintai seseorang setelah pernikahan selama ada niat bukan sesuatu yang tidak mungkin. Dengan berbekal niat, melakukan hal-hal berikut akan memunculkan rasa cinta:
* Menjalin Komunikasi
Kendala utama dari pernikahan hasil perjodohan biasanya adalah komunikasi. Merasa belum begitu saling kenal tapi sudah harus sekamar, siapa yang tidak sungkan? Mulailah dengan membuka diri, mengajak bicara suami/istri mengenai apa saja. Apa yang disuka dan apa yang tidak, ataupun hal-hal ringan semisal acara teve hari ini. Ciptakan obrolan yang menyenangkan. Pasti ada satu atau dua hal yang sama-sama diminati. Manfaatkan kesamaan minat ini untuk membentuk kedekatan. Misalnya sama-sama suka membaca buku sastra, jadikan acara akhir pekan dengan berburu buku sastra.
* Membangun Kedekatan/Kebersamaan
Ciptakan selalu kedekatan dan kebersamaan. Berangkat dan pulang kantor bersama-sama, masak bareng, makan berdua, membereskan rumah bergotong royong dan sebagainya. Bagaimanapun kedekatan dan kebersamaan sudah terbukti mampu menggulirkan bola-bola cinta. Seperti kata pepatah Jawa, witing trisna jalaran saka kulino (cinta tumbuh karena kebersamaan).
* Positive Thinking
Berpikir positif dan terbuka adalah langkah bijak. Jangan sampai Anda terjebak pada pikiran dia adalah pilihan yang salah karena bukan Anda sendiri yang memilihnya. Bagaimanapun setiap manusia pasti memiliki kelemahan, jadi "nikmati" saja kekurangannya. Lihatlah hal-hal positif yang ada pada dirinya dan kenali kebaikannya hingga Anda lebih bahagia menjalani hidup.
* Anak sebagai Jembatan
Sebaiknya jangan tunda kesempatan untuk segera punya momongan. Kehadiran anak bisa menjadi jembatan hati kedua pasangan yang menikah karena perjodohan. Menyaksikan buah cinta Anda tumbuh di rahim istri, menemaninya berjuang selama persalinan, kerepotan bersama mengurus si kecil bisa mendekatkan kedua hati yang lebih efektif dari komunikasi verbal sekalipun.
JIKA TANPA CINTA
Banyak motivasi yang menyebabkan seseorang akhirnya mengambil keputusan untuk menikah. Termasuk menerima pernikahan melalui perjodohan. Misalnya usianya sudah mendekati "deadline", ingin menyenangkan orangtua, terpaksa atau dipaksa oleh keadaan. Apa pun alasannya, menumbuhkan cinta dalam pernikahan sangatlah penting. Jangan sampai karena motivasinya hanya ingin menyenangkan orangtua, maka kehidupan pernikahan dijalani tanpa mempersoalkan ada/tidaknya cinta. Bagaimanapun rumah tangga tanpa cinta akan terasa kering. Meski cinta bukan faktor utama penentu kebahagiaan, tapi sedikit banyak cinta mempermudah keduanya menjalani kehidupan.
Masalah cinta ini memang krusial untuk pasangan yang menikah karena perjodohan. Sayangnya, banyak yang menafikan keberadaannya tanpa memikirkan dampaknya di kemudian hari. Akhirnya setelah pernikahan benar-benar di ujung tanduk, maka perjodohanlah yang disalahkan. Padahal kalau saja dari awal keduanya mau mengusahakan tumbuhnya getar-getar halus dalam hati, pasti semuanya akan terasa lebih ringan. Karena prinsipnya sebuah relasi akan dipertahankan kalau dirasa menyenangkan. Akan tetapi kalau tidak, salah satu atau keduanya pasti ingin "pergi". Tak ada yang perlu disesali, karena jodoh sudah ada yang menentukan, Anda hanya tinggal menjalaninya. Tentu saja sambil mengusahakan agar semuanya terasa membahagiakan.
AKHIRNYA TERGETAR
Toni (36), pengusaha
"Setelah putus dengan pacar pertama, entah kenapa saya sulit sekali jatuh cinta. Tak terasa umur terus bertambah. Setiap saat keluarga ribut menanyakan kapan saya menikah. Mereka menyodorkan banyak calon. Tapi tetap saja tidak ada yang sreg di hati. Pernah ada satu yang secara wajah sreg, tapi hati rasanya tidak tergerak juga. Sampai akhirnya ada sepupu dari kandidat yang dijodohkan membuat hati saya tergetar. Berhubung usia sudah tidak muda lagi, akhirnya orangtua saya langsung bertemu orangtuanya untuk membicarakan hari baik. Awalnya sempat ragu-ragu, tapi sudah setahun ini saya menjalani pernikahan dan semua baik-baik saja. Apalagi istri saya tidak banyak menuntut dan menghargai usaha saya untuk sedikit-sedikit belajar mencintainya."
TRADISI KELUARGA
Shinta (31), ibu rumah tangga
"Perjodohan adalah bagian dari tradisi keluarga besar kami. Makanya saya tidak mempermasalahkan ketika akhirnya saya menikah dengan seseorang yang dipilihkan keluarga. Toh, kakak, sepupu, om, tante dan banyak lagi orang-orang di lingkungan keluarga kami yang pernikahannya dijodohkan, hidupnya bahagia-bahagia saja. Saya sudah mengenal suami saya sejak kecil karena dia masih terhitung kerabat jauh. Saat orangtuanya melamar pun, saya tidak merasa marah, kecewa atau takut. Bukankah sedari kecil saya tahu hari seperti ini akan tiba juga. Setelah menikah, hidup kami bahagia-bahagia saja. Cinta? Kami tidak pernah membahasnya."
KALAU CARI SENDIRI BELUM TENTU SEPERTI ITU
Dewi (35), arsitek
"Buat saya pernikahan melalui perjodohan ini adalah sesuatu yang saya syukuri. Suami saya sangat baik, bertanggung jawab, mencintai keluarga, dan tidak aneh-aneh. Terus terang ketika ide perjodohan itu saya dengar pertama kali dari orangtua, saya langsung marah. Masak iya sih saya tidak laku sehingga sampai harus dijodohkan. Saya terus menolak dengan berbagai alasan ketika diminta ketemu dengan (calon) suami saya waktu itu. Sampai akhirnya saya didesak dan tidak bisa menghindar lagi. Waktu pertama kali ketemu, saya tidak menyangka kalau dia ternyata ganteng. Setelah kenal lebih dekat saya makin tahu kalau hatinya juga baik. Makanya saya tidak menyesal dijodohkan, karena kalau mencari sendiri belum tentu dapat yang seperti itu, he...he."
(Marfuah Panji Astuti/Tabloid Nakita)
Langganan:
Postingan (Atom)